Isu MH/DEL Menjadi Bola Liar : Diam yang Menghantui, Kredibilitas yang Terseret

Dipublikasikan pada 05:53 09 Sep 2025 oleh Roewang LO
5.00
oleh : Alfinnor Effendy, S.Ag., M.H
Di tengah hiruk-pikuk isu politik, publik kembali
dihadapkan pada kabar yang mencoreng wajah lembaga negara: seorang senator muda
asal Kalimantan Selatan, MH/DEL, terisukan terseret dalam dugaan kasus
kekerasan seksual. Isu ini dengan cepat merebak di ruang publik, memantik
perhatian dan desakan dari banyak kalangan. Namun yang lebih mengejutkan
bukanlah isu itu sendiri, melainkan sikap sang senator yang memilih diam.
Keheningan ini justru menimbulkan pertanyaan besar:
apakah pejabat publik berhak menutup mulut ketika kredibilitas, moralitas, dan
hukum sedang dipertaruhkan? Ataukah diam itu sendiri merupakan pengakuan tak
langsung bahwa ada sesuatu yang hendak ditutupi?
Pejabat Publik dan
Hukum Moralitas
Menjadi pejabat publik bukan hanya soal jabatan formal,
melainkan amanah moral. Publik menaruh harapan, terutama kepada politisi muda,
untuk membawa energi baru dalam tata kelola negara yang lebih bersih dan
transparan. Namun, ketika seorang senator muda justru bungkam di tengah isu
sensitif, ia sedang menodai harapan itu.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN menekankan asas kepatutan
dan kepantasan. Artinya, pejabat publik wajib menjaga martabat dirinya dan
lembaganya. Tidak cukup hanya menghindari korupsi atau kolusi, tetapi juga
menjaga perilaku agar tetap sesuai norma moral masyarakat.
Lebih jauh lagi, Kode Etik Anggota DPD RI
(Peraturan DPD Nomor 2 Tahun 2012) mengatur kewajiban anggota untuk menjaga kehormatan,
martabat, dan citra lembaga. Dalam konteks ini, ketika seorang senator
memilih bungkam, ia sedang meruntuhkan wibawa DPD RI di mata rakyat.
Diam mungkin bisa dimaknai sebagai sikap hati-hati.
Namun dalam kasus serius seperti dugaan kekerasan seksual, diam justru melukai
prinsip transparansi dan akuntabilitas—dua pilar utama demokrasi. Seorang
pejabat publik tidak hanya dinilai dari kinerjanya, tetapi juga dari sikapnya
dalam menghadapi krisis integritas.
Dasar Hukum Dugaan
Kekerasan Seksual
Kasus dugaan yang menyeret nama MH/DEL bukan sekadar
isu moralitas pribadi, tetapi dugaan tindak pidana. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sebuah
payung hukum yang memberikan perlindungan menyeluruh kepada korban dan
mengkriminalisasi pelaku.
Pasal 4 UU TPKS secara tegas memasukkan pelecehan
seksual nonfisik—ucapan, gestur, atau komunikasi bernuansa seksual—sebagai
tindak pidana. Bahkan, pasal 10 hingga 12 mengatur mekanisme perlindungan
korban, mulai dari pendampingan psikologis, hukum, hingga pemulihan sosial.
Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), khususnya pasal 281–292, juga masih berlaku dalam menjerat tindakan
cabul. Dengan demikian, apabila memang ada korban yang merasa dirugikan, jalur
hukum terbuka lebar. Korban bisa melapor ke kepolisian maupun melalui lembaga
perlindungan perempuan dan anak.
Dalam konteks ini, sikap diam seorang pejabat publik
justru semakin memperburuk persepsi. Publik bisa saja menafsirkan bahwa
keheningan adalah upaya untuk menghindar dari jerat hukum. Padahal, jika yakin
tidak bersalah, jalan terbaik adalah memberikan klarifikasi terbuka dan siap
menghadapi proses hukum secara transparan.
Diam yang Menjadi
Masalah
Dalam politik, diam sering dipahami sebagai strategi.
Namun dalam kasus dugaan kekerasan seksual, diam bukan strategi, melainkan
masalah. Keheningan seorang senator muda justru dipandang sebagai pengabaian
terhadap prinsip responsibility and accountability.
Konstitusi kita jelas menegaskan prinsip kesetaraan di
hadapan hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa seluruh warga
negara berkedudukan sama di depan hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
menambahkan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara. Dengan
kata lain, tidak ada alasan seorang pejabat publik bersembunyi di balik kursi
kekuasaan untuk menghindar dari isu serius ini.
Lebih jauh, diamnya MH/El bukan hanya melukai hati
korban potensial, tetapi juga menimbulkan praduga liar. Ruang publik pun
dipenuhi rumor, opini, dan spekulasi yang tak terkendali. Keheningan yang
dimaksudkan untuk meredam, justru menjadi bahan bakar bagi kecurigaan.
Kritik dan Tuntutan
Publik
Publik tidak tinggal diam. Mahasiswa, organisasi
kepemudaan, hingga lembaga swadaya masyarakat sudah bersuara. Mereka menuntut
klarifikasi segera, bukan semata demi kasus ini, tetapi demi menjaga marwah
lembaga DPD RI.
Jika MH/DEL tetap bungkam, jalurnya jelas: Dewan
Kehormatan DPD RI memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menjatuhkan
sanksi etik. Sanksi itu bisa berupa teguran, pencabutan hak tertentu, hingga
pemberhentian dari jabatan struktural internal.
Di sisi lain, aparat penegak hukum dan lembaga
perlindungan perempuan dan anak juga punya tanggung jawab membuka kanal
pelaporan, menyediakan pendampingan, dan memastikan bahwa korban tidak bungkam
karena takut menghadapi stigma.
Tuntutan publik setidaknya terangkum dalam empat hal
pokok:
- Klarifikasi segera. MH/DEL wajib memberikan
pernyataan resmi dan terbuka.
- Pertanggungjawaban etik. Dewan Kehormatan DPD RI harus
bertindak sesuai kewenangan.
- Jaminan hukum bagi korban. Aparat penegak hukum harus
proaktif membuka ruang pelaporan dan menaggapi isu yang beredar.
- Sanksi moral dan politik. Jika tetap bungkam, publik
berhak mendesak sanksi etik hingga pencopotan.
Keheningan MH/DEL hari ini adalah beban moral yang akan
ia pikul sepanjang karier politiknya terlepas benar atau tidaknya isu yang
beredar. Ia mungkin berharap badai isu ini reda dengan sendirinya, tetapi
publik memiliki ingatan yang lebih panjang daripada yang ia bayangkan.
Sebagai pejabat publik, ia terikat kewajiban menjaga
martabat jabatan. Sebagai warga negara, ia tunduk pada hukum positif. Dan
sebagai politisi muda, ia mestinya memberi teladan bahwa generasi baru politik
Indonesia mampu bersikap jujur, transparan, dan bertanggung jawab.
Namun jika ia terus memilih diam, maka sejarah hanya
akan mencatatnya sebagai senator yang gagal mengelola krisis integritas. Pada
akhirnya, keheningan bukan sekadar strategi politik—ia bisa menjadi
pengkhianatan terhadap moralitas, hukum, dan harapan rakyat yang telah menaruh
kepercayaan.
Keheningan
yang berlarut-larut hanya akan menghantui, dan kredibilitas yang terseret bisa
menjadi keruntuhan yang tak termaafkan.
Disclaimer: Tulisan ini adalah edukasi hukum, bukan pembelaan atau tuduhan terhadap pihak manapun.