Isu MH/DEL Menjadi Bola Liar : Diam yang Menghantui, Kredibilitas yang Terseret

isu-mhdel-menjadi-bola-liar-diam-yang-menghantui-kredibilitas-yang-terseret-1757561567

Dipublikasikan pada 05:53 09 Sep 2025 oleh Roewang LO

5.00

oleh : Alfinnor Effendy, S.Ag., M.H 

Di tengah hiruk-pikuk isu politik, publik kembali dihadapkan pada kabar yang mencoreng wajah lembaga negara: seorang senator muda asal Kalimantan Selatan, MH/DEL, terisukan terseret dalam dugaan kasus kekerasan seksual. Isu ini dengan cepat merebak di ruang publik, memantik perhatian dan desakan dari banyak kalangan. Namun yang lebih mengejutkan bukanlah isu itu sendiri, melainkan sikap sang senator yang memilih diam.

Keheningan ini justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah pejabat publik berhak menutup mulut ketika kredibilitas, moralitas, dan hukum sedang dipertaruhkan? Ataukah diam itu sendiri merupakan pengakuan tak langsung bahwa ada sesuatu yang hendak ditutupi?

Pejabat Publik dan Hukum Moralitas

Menjadi pejabat publik bukan hanya soal jabatan formal, melainkan amanah moral. Publik menaruh harapan, terutama kepada politisi muda, untuk membawa energi baru dalam tata kelola negara yang lebih bersih dan transparan. Namun, ketika seorang senator muda justru bungkam di tengah isu sensitif, ia sedang menodai harapan itu.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN menekankan asas kepatutan dan kepantasan. Artinya, pejabat publik wajib menjaga martabat dirinya dan lembaganya. Tidak cukup hanya menghindari korupsi atau kolusi, tetapi juga menjaga perilaku agar tetap sesuai norma moral masyarakat.

Lebih jauh lagi, Kode Etik Anggota DPD RI (Peraturan DPD Nomor 2 Tahun 2012) mengatur kewajiban anggota untuk menjaga kehormatan, martabat, dan citra lembaga. Dalam konteks ini, ketika seorang senator memilih bungkam, ia sedang meruntuhkan wibawa DPD RI di mata rakyat.

Diam mungkin bisa dimaknai sebagai sikap hati-hati. Namun dalam kasus serius seperti dugaan kekerasan seksual, diam justru melukai prinsip transparansi dan akuntabilitas—dua pilar utama demokrasi. Seorang pejabat publik tidak hanya dinilai dari kinerjanya, tetapi juga dari sikapnya dalam menghadapi krisis integritas.

Dasar Hukum Dugaan Kekerasan Seksual

Kasus dugaan yang menyeret nama MH/DEL bukan sekadar isu moralitas pribadi, tetapi dugaan tindak pidana. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sebuah payung hukum yang memberikan perlindungan menyeluruh kepada korban dan mengkriminalisasi pelaku.

Pasal 4 UU TPKS secara tegas memasukkan pelecehan seksual nonfisik—ucapan, gestur, atau komunikasi bernuansa seksual—sebagai tindak pidana. Bahkan, pasal 10 hingga 12 mengatur mekanisme perlindungan korban, mulai dari pendampingan psikologis, hukum, hingga pemulihan sosial.

Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pasal 281–292, juga masih berlaku dalam menjerat tindakan cabul. Dengan demikian, apabila memang ada korban yang merasa dirugikan, jalur hukum terbuka lebar. Korban bisa melapor ke kepolisian maupun melalui lembaga perlindungan perempuan dan anak.

Dalam konteks ini, sikap diam seorang pejabat publik justru semakin memperburuk persepsi. Publik bisa saja menafsirkan bahwa keheningan adalah upaya untuk menghindar dari jerat hukum. Padahal, jika yakin tidak bersalah, jalan terbaik adalah memberikan klarifikasi terbuka dan siap menghadapi proses hukum secara transparan.

Diam yang Menjadi Masalah

Dalam politik, diam sering dipahami sebagai strategi. Namun dalam kasus dugaan kekerasan seksual, diam bukan strategi, melainkan masalah. Keheningan seorang senator muda justru dipandang sebagai pengabaian terhadap prinsip responsibility and accountability.

Konstitusi kita jelas menegaskan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa seluruh warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menambahkan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara. Dengan kata lain, tidak ada alasan seorang pejabat publik bersembunyi di balik kursi kekuasaan untuk menghindar dari isu serius ini.

Lebih jauh, diamnya MH/El bukan hanya melukai hati korban potensial, tetapi juga menimbulkan praduga liar. Ruang publik pun dipenuhi rumor, opini, dan spekulasi yang tak terkendali. Keheningan yang dimaksudkan untuk meredam, justru menjadi bahan bakar bagi kecurigaan.

Kritik dan Tuntutan Publik

Publik tidak tinggal diam. Mahasiswa, organisasi kepemudaan, hingga lembaga swadaya masyarakat sudah bersuara. Mereka menuntut klarifikasi segera, bukan semata demi kasus ini, tetapi demi menjaga marwah lembaga DPD RI.

Jika MH/DEL tetap bungkam, jalurnya jelas: Dewan Kehormatan DPD RI memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi etik. Sanksi itu bisa berupa teguran, pencabutan hak tertentu, hingga pemberhentian dari jabatan struktural internal.

Di sisi lain, aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan perempuan dan anak juga punya tanggung jawab membuka kanal pelaporan, menyediakan pendampingan, dan memastikan bahwa korban tidak bungkam karena takut menghadapi stigma.

Tuntutan publik setidaknya terangkum dalam empat hal pokok:

  1. Klarifikasi segera. MH/DEL wajib memberikan pernyataan resmi dan terbuka.
  2. Pertanggungjawaban etik. Dewan Kehormatan DPD RI harus bertindak sesuai kewenangan.
  3. Jaminan hukum bagi korban. Aparat penegak hukum harus proaktif membuka ruang pelaporan dan menaggapi isu yang beredar.
  4. Sanksi moral dan politik. Jika tetap bungkam, publik berhak mendesak sanksi etik hingga pencopotan.

Keheningan MH/DEL hari ini adalah beban moral yang akan ia pikul sepanjang karier politiknya terlepas benar atau tidaknya isu yang beredar. Ia mungkin berharap badai isu ini reda dengan sendirinya, tetapi publik memiliki ingatan yang lebih panjang daripada yang ia bayangkan.

Sebagai pejabat publik, ia terikat kewajiban menjaga martabat jabatan. Sebagai warga negara, ia tunduk pada hukum positif. Dan sebagai politisi muda, ia mestinya memberi teladan bahwa generasi baru politik Indonesia mampu bersikap jujur, transparan, dan bertanggung jawab.

Namun jika ia terus memilih diam, maka sejarah hanya akan mencatatnya sebagai senator yang gagal mengelola krisis integritas. Pada akhirnya, keheningan bukan sekadar strategi politik—ia bisa menjadi pengkhianatan terhadap moralitas, hukum, dan harapan rakyat yang telah menaruh kepercayaan.

Keheningan yang berlarut-larut hanya akan menghantui, dan kredibilitas yang terseret bisa menjadi keruntuhan yang tak termaafkan. 

Disclaimer: Tulisan ini adalah edukasi hukum, bukan pembelaan atau tuduhan terhadap pihak manapun.

Beri Nilai Berita Kami